Sabtu, 02 Januari 2010

Raksasa Langit

Keponakanku yang berusia tiga tahun, Archo, memiliki rambut hitam dan mata cokelat besar yang menyentuh sesuatu di dalam hatiku. Tapi di belakang mata indah itu ada seorang anak yang takut pada badai.

Saat kilat menyambar di langit dan guruh bergemuruh, mata Archo akan membesar dan menggelap, seolah menyimpan sumur ketakutan. Suatu hari kilat membelah langit menjadi dua dengan garis bergerigi yang sepertinya menyatukan langit dan bumi. Guruh yang menyusul sepertinya telah mengangkat Archo beberapa inci dari tanah. Dia tampak seperti prajurit kecil, tangannya memeluk dada, tubuhnya kaku. Dia mondar-mandir di ruangan, terus-menerus berkata, “Aku takut! Aku takut!”.

Aku bilang ke dia kalau suara gemuruh yang dia dengar adalah suara teriakan malaikat dan kita tidak perlu takut. Tapi cerita itu gagal menghilangkan ketidaknyamanannya. Aku berkata, “Archo, mari duduk dan menggambar kilat!”. Dia langsung mengingatkanku, “Aku takut kilat!”

Ya, Paman bias melihat betapa takutnya dirimu,” kataku.

Mari sini dan kita bisa menggambar langit yang menakutkan bersama.”

Archo memandangku dengan tatapan penuh pertimbangan, ingin tahu tentang paman yang ingin menggambar kilat ini. Saat keluarganya menunggu badai reda di depan televisi, aku dan Archo pergi ke dapur dan menemukan tempat untuk menggambar tingkah aku mengerikan langit itu.

Archo pelan-pelan naik bangku besi hitam di meja dapur sementara aku mencari alat gambar di dapur saudaraku. Aku meletakkan pensil tumpul dan beberapa lembar kertas putih di hadapan Archo.

Hampir berbisik, Archo mengaku, “Aku tidak tahu bagaimana menggambar kilat.”

“Apakah kamu ingin Paman menggambar terlebih dulu?”

“Ya,” jawabnya, langsung teralih dari rasa takutnya. Archo tanya membulat penuh rasa ingin tahu saat aku dengan cepat menggambar beberapa garis zig-zag.

“Nah,” kataku sambil tersenyum. “Kamu mau bergantian menggambar sekarang?”

Dengan hati-hati Archo mengambil pensilnya dan menggambar garis gigi gergaji kecil. Dia mendongak menatapku untuk minta persetujuan.

“Bagus, Archo! Mau buat lagi?” tanyaku, memberikan lembaran kertas baru.

Dia membuat lebih banyak kilat, setiap gambar lebih besar daripada gambar sebelumnya. Saat Archo menggambar garis-garis zig-zag itu, dia berkata, “Tuh, itulah langit raksasa! Yang ini akan lebih besar lagi!”

Saat dia menuangkan rasa takutnya ke atas kertas, suaranya kembali ke nada normal, tapi matanya terus membesar penuh ketakutan setiap kali guruh menggelegar.

“Di bagian tubuh mana kamu merasa paling takut, Archo?” tanyaku.

“Di sini,” katanya, menunjuk dadaya.

“Peganglah tempat kaku merasa takut itu.”

Dia meletakkan tangannya di atas jantungnya. Lalu aku meletakkann sebelah tangaku dengan lembut di atas tangannya, sementara satu tangan yang lain memegang punggungnya. “Tepat di sini, ya?”

“Ya.”

Aku diam sesaat. “Bagaimana rasanya sekarang?”

“Lebih baik sedikit.”

Archo dengan tegas menggambar samabran kilat besar dan gelap.

Apakah kau takut pada kilat, Paman Andre?”

“Ya, kadang-kadang,” kataku lembut, merasakan mungkin dia butuh teman yang merasakan ketakutan yang sama.

Memandangku dengan penuh cinta, dengan kepala miring sedikit ke satu sisi, Archo mengulurkan tangan dan meletakkan tanganya tepat di atas jantungku. “Rasanya sakit di sini?” tanyanya.

Dengar kaget aku mengangguk. “Ya, kadang-kadang gak sakit.”

Kelembutan keponakanku yang berusia tiga tahun menyentuh jiwaku dan mengisiku dengan kekaguman bagaimana menggambar raksasa langit bersama bias membuka hati kami. Kenangan indah itu, dibuat bertahun-tahun yang lalu, menyalakan hubungan khusus di antara kami yang terus berlanjut sampai sekarang.


  • Andrew Agustar

0 komentar:


Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Volkswagen Cars. Powered by Blogger